Senin, 26 November 2012

omed omedan


BAB II

PEMBAHASAN

bb/2:p)mãhsn/.
2.1  Pengertian Seni Pertunjukan
2.1 p)\$tênuæ)nip$tuzé¡kn/.
Seni pertunjukan berarti “tontonan yang bernilai seni,” yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton (Murgiyanto, 1996: 153). Untuk menyajikan sebuah pertunjukan tersebut dibutuhkan unsur-unsur pendukungnya, antara lain pemain, penonton, pesan yang disampaikan, dan cara penyampaian yang khas. Selain itu, unsur ruang dan waktu juga menjadi hal yang sangat penting dari sebuah pertunjukan (Murgiyanto, 1996: 156). Pada dasarnya, sebuah seni pertunjukan memiliki fungsi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Beberapa fungsi dari pertunjukan tersebut antara lain fungsi religius, fungsi sosial, fungsi pendidikan, fungsi estetik, dan fungsi ekonomi. Fungsi-fungsi yang terdapat dalam sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya satu, tapi bisa lebih. Hal itu tergantung dengan kebutuhan manusia itu sendiri.
Seni Pertunjukan meliputi kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik-tradisional, musik-teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
Unsur-unsur yang termasuk di dalam seni pertunjukan, antara lain :
1.      Cerita
Isi cerita yang ditampilkan merupakan suatu konflik antara pelaku-pelakunya. Cerita dapat berbentuk dialog yang disusun dalam suatu naskah (script).


2.      Pelaku atau pemain
Pelaku (pemain drama, actor, aktris) mempunyai dua alat untuk menyampaikan isi cerita kepada para penonton yaitu ucapan dan perbuatan.
3.       Panggung atau tempat
Panggung merupakan tempat pementasan atau tempat para pelaku mengekspresikan watak tokoh sesuai dengan isi cerita. Panggung fungsinya untuk memperkuat dan mempermudah gambaran isi cerita.
4.      Penonton (audience)
Penonton harus dibentuk untuk mendukung kelangsungan hidup pertunjukkan. Misalnya pertunjukkan wayang orang mendapat kelangsungan hidupnya dari kacris para penonton.
5.      Sutradara
Sutradara bertugas mewujudkan isi cerita kepada para penonton melalui ucapan dan perbuatan (casting) para pelaku di panggung.
2.2  Tradisi Omed-omedan Sebagai Seni Pertunjukan
2.2 tÉdisiehoemedoemdnuæ)bEgs)nip$tuzé¡kn/.
Warisan budaya yang satu ini sedikit agak unik. Semacam sebuah permainan. Permainan tarik-menarik atau dalam bahasa Bali disebut med-medan atau omed-omedan. Warisan adat dan budaya ini hanya ada pada satu banjar dari sekian ribu banjar yang ada di Pulau Bali, yakni Banjar Kaja, Sesetan.
Tradisi ini warisan nenek moyang sejak dahulu. Dilakukan secara turun temurun. Salah seorang warga Banjar Kaja, menceritakan bahwa omed-omedan ini merupakan sebuah tradisi turun temurun. Sejak dahulu nenek moyang warga Banjar Kaja sudah melakukan omed-omedan. Masyarakat luas harus memahami ini. Memahami dan mengerti bahwa omed-omedan bukanlah cium-ciuman. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan dengan tarik-tarikan, seiring dengan perkembangan zaman yang pesat lalu berubah ada ciuman.




Gambar 2.2.1 Ciuman saat omed-omedan (Sumber: Google, 2012)
Pada awalnya pelaksanaan omed-omedan sangat sederhana dan tidak ada tarian pembukaan serta tari barong. Namun seiring dengan perkembangan zaman sekarang sudah terjadi modifikasi. Bahkan Wali Kota Denpasar pun menaruh perhatian yang tinggi terhadap tradisi ini. Sehingga sebelum diadakan omed-omedan terlebih dahulu dilaksanakan tarian pembukaan untuk menandakan omed-omedan akan segera dimulai. Adapun urutan pelaksanaan omed-omedan adalah :
1.      Bersembahyang di pura banjar
2.      Penghormatan terhadap Wali Kota
3.      Tarian pembukaan dan tari barong
4.      Melaksanakan tradisi pertunjukan Omed-omedan






Gambar 2.2.2 Sembahyang di pura banjar (Sumber: Google, 2012)






Gambar 2.2.3 Tarian pembukaan omed-omedan (Sumber: Google, 2012)
Pelaksanaan omed-omedan tidak memerlukan peralatan khusus. Semuanya dipersiapkan secara spontanitas. Air yang digunakan dalam pelaksanaan omed-omedan fungsinya adalah sebagai pelicin agar dalam pelaksanaan omed-omedan para sekaa truna-truni tersebut tidak lecet dan luka-luka. Selain itu air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama.






Gambar 2.2.4 Ciuman saat diguyur air (Sumber: Google, 2012)
Dahulu omed-omedan dilaksanakan tepat pada hari raya Nyepi. Hal ini dikarenakan masyarakat pada zaman dahulu belum mengenal Catur Brata Panyepian. Namun seiring dengan banyaknya sosialisasi dari pemuka agama yang memperkenalkan ajaran Catur Brata Panyepian, maka sekarang pelaksanaan omed-omedan diundur keesokan harinya yaitu bertepatan dengan hari Ngembak Geni.
Tarian barong bangkal/barog bangkung yang diadakan sebelum omed-omedan adalah duplikasi dari sesuhunan yang ada di pura Gelgel di Br. Kaja, yang berwujud babi. Tari ini melambangkan dua orang yang saling jatuh cinta dan diwujudkan dengan saling berciuman. Yang menarikan tarian ini boleh siapa saja, tidak ada batasan khusus. Para sekaa truna-truni yang ingin menarikan tarian tersebut langsung dilatih oleh Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra di purinya sendiri. Semar pegulingan adalah gamelan yang mengiringi tarian ini. Sebenarnya tari pembukaan dan tari barong adalan tarian tambahan saja yang tidak memiliki makna khusus.
Gambar 2.2.5 Tarian barong bangkal/barong bangkung (Sumber: Google, 2012)
Barisan dalam omed-omedan diatur secara bebas tanpa adanya batasan tertentu. Bagi siapapun yang ingin menarikan omed-omedan sebenarnya sah-sah saja, tidak ada batasan umur maupun status. Dahulu sekitar tahun 1955 para orang tua dan remaja saling berbaur dalam melaksanakan omed-omedan, tidak ada rasa malu saking eratnya hubungan diantara warga, bahkan para wanita ada yang keluar tanpa memakai bra. Sekarang setelah perkembangan zaman barulah pelaksanaan omed-omedan diatur. Sehingga sekarang pelaksanaan omed-omedan hanya dilakukan oleh Sekaa Teruna Teruni saja. Pernah terjadi suatu peristiwa, seorang turis mancanegara histeris melihat tradisi omed-omedan. Ia ingin ikut melakukan omed-omedan. Atas izin dari Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra yang ketika itu menjadi klian adat maka turis mancanegara tersebut diizinkan melakukan omed-omedan.
Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang didepan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat diberikan aba-aba maka kedua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pinggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang didepan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.






Gambar 2.2.6 Posisi pada saat omed-omedan (Sumber: Google, 2012)
Menurut Putu Desi atau biasa di sapa Yurin, Ketua STT Banjar Kaja tahun 2012, ciuman ini dilakukan tidak berdasarkan hawa nafsu, tidak ada nafsu disana. Hanya having and fun serta merayakan kemenangan kebajikan atas ketidakbajikan, yang direnungkan pada malam Nyepi.
2.3  Proses Pewarisan Tradisi Omed-omedan
2.3 epÉoessæ)wrisnÓÍdisiehoemedoemdn/.
Tradisi omed-omedan diwariskan melalui proses pewarisan enkulturasi. Enkulturasi merupakan sebuah proses “pembudayaan” dimana individu dalam sebuah masyarakat sosial mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
2.4  Asal -usul Tradisi Omed-omedan
2.4  hslusulÓÍdisiehoemedoemdn/.
Kata omed-omedan berasal dari bahasa Bali, yaitu dari urat kata omed yang berarti tarik, kemudian dari kata omed ini berubah menjadi omed-omedan atau med-medan yang berarti tarik-menarik. Pada zaman dahulu di daerah Denpasar terdapat lima buah puri yang merupakan bawahan setia Cokorda Denpasar. Kelima puri tersebut disebut Manca. Adapun puri-puri yang termasuk kedalam Manca tersebut antara lain :
1)      Puri Kaja
2)      Puri Kaleran Kangin
3)      Puri Kaleran Kawan
4)      Puri Oka
5)      Puri Jero
Salah satu dari kelima puri tersebut yaitu Puri Oka merupakan tempat awal mula terjadinya omed-omedan. Sebagai salah satu kaki tangan dari Cokorda Denpasar, ketika terjadinya perang Puputan Badung pada tahun 1906, Puri Oka juga ikut melawan penjajah Belanda. Sehingga mengakibatkan Puri Oka hancur berantakan. Leluhur dari Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra menyebar ke berbagai daerah, salah satunya adalah daerah Pegog. Posisi puri tidak seperti sekarang ini. Jalan-jalan saat itu sangat sepi dan sangat jauh dari kesan modern. Setelah Puri Oka diperbaiki maka leluhur dari Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra kembali ke Puri Oka. Pada suatu ketika buyut dari Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra menderita sakit yang parah bahkan sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Beliau memerintahkan agar para abdinya tidak tangkil kepuri selama beliau masih sakit. Para abdi yang begitu setia dan menganggap junjungannya  Pinaka Tugu” merasa sangat kecewa dan sedih. Namun mereka tidak langsung pulang setelah disuruh pulang. Mereka beramai-ramai diluar puri membuat suatu permainan yang menimbulkan suara gaduh. Buyut dari Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra merasa terganggu dan sangat marah. Akhirnya, dengan tertatih-tatih beliau pergi kejaba puri untuk memarahi abdinya yang tidak menghormati beliau yang sedang sakit. Namun justru terjadi keanehan ketika beliau sampai di jaba puri. Sakit yang beliau derita tiba-tiba berangsur sembuh. Beliau yang tadinya ingin marah mengurungkan niatnya dan mengatakan “mungkin permainan ini yang menyebabkan saya sembuh” dan akhirnya beliau memerintahkan agar permainan tersebut tetap dilanjutkan. Begitulah akhirnya omed-omedan terjadi karena adanya keterkaitan antara Puri Oka dengan para abdinya yang kita kenal sampai sekarang.







Gambar 2.4.1 Foto pada saat wawancara (dok.Pribadi)
Sekitar tahun 1953 terjadi sebuah keunikan di desa Sesetan. Setiap banjar di desa ini membawa hal unik ke banjar lainnya, misalnya membawa orang yang sedang hamil. Demikian seterusnya sampai pagi menjelang. Pada tahun 1979, Ketika Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra menjadi klian adat di Br. Kaja, omed-omedan sempat dihentikan. Alasannya karena beliau merasa malu mengingat bahwa omed-omedan merupakan tradisi yang identik dengan peluk dan cium yang dianggap sebagai porno aksi. Banyak masyarakat yang menyayangkan keputusan beliau tersebut. Mereka merasa sangat kecewa. Ketika masyarakat menanyakan alasan omed-omedan ditiadakan Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra tidak memberikan alasan yang pasti dan menyuruh para warga tersebut pulang, namun mereka tidak langsung pulang dan justru berkumpul diluar puri dan menimbulkan suara gaduh. Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra merasa terganggu dengan suara itu dan pergi ke jaba puri. Beliau mengira bahwa warga disana tetap mengadakan omed-omedan walaupun sudah dilarang. Namun ternyata di tengah kerumunan ada dua ekor babi yang sedang bertarung dan berkelahi dengan sengit sampai berdarah-darah dan tiba-tiba menghilang dengan misterius. Kejadian ini dipercaya oleh warga banjar sebagai sebuah anugerah sehingga oleh masyarakat Banjar Kaja dibuatlah Barong Babi.
Melihat kejadian tersebut, mulai terbersit ketakutan dibenak beliau, “sekarang mungkin hanya babi yang bertarung, bagaimana nanti jika manusia yang bertarung sampai jatuhnya korban”. Akhirnya pada saat itu juga beliau memanggil para sekaa truna-truni dan menyuruh mereka malaksanakan omed-omedan saat itu juga dan tradisi omed-omedan berlangsung sampai sekarang. Selain itu, seluruh STT Banjar Kaja, sudah memiliki janji pewisik dalam hati untuk terus melestarikan tradisi kebanggan ini.






Gambar 2.4.2 Foto bersama dengan Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra (dok. Pribadi)
Sementara sampai sekarang tidak ada warga yang pindah dari Banjar Kaja, Sesetan ini. Jikapun ada warga yang merantau, maka setelah ia kembali dari perantauannya maka atas inisiatifnya sendiri ia akan melaksanakan omed-omedan tanpa adanya paksaaan. Bagi warga yang mebanjar dinas di Banjar Kaja, Sesetan ini tidak diwajibkan melaksanakan omed-omedan, hanya warga yang mebanjar adat saja yang diwajibkan serta tidak ada batasan waktu ketika pelaksanaannya.
2.5  Tujuan dan Manfaat Melaksanakan Tradisi Omed-omedan bagi Masyarakat Setempat
2.5tujÙdÑnßnæotß)lkuænknÓÍdisiehoemedoemdnãgimsêrktuæ)t)mæt/.
Tujuan melaksanakan tradisi omed-omedan bagi masyarakat setempat adalah untuk melestarikan tradisi budaya agar tetap lestari dan generasi muda dapat tetap melaksanakan tradisi ini dan tidak melupakan warisan leluhurnya. Selain itu ada sebuah mitos yang menyatakan jika tradisi omed-omedan ini tidak dilaksanakan maka akan ada dua ekor babi yang bertarung dengan sengit sampai berdarah-darah dan tiba-tiba menghilang dengan misterius.
Adapun manfaat melaksanakan tradisi omed-omedan bagi masyarakat setempat adalah kebahagiaan akan timbul dan rasa cinta semakin mendalam. Rasa persaudaraan sebagai keluarga besar Banjar Kaja menjadi semakin terpupuk dan rasa memiliki hidup menjadi lebih bermakna ketika mengikuti prosesi ini. Ketika mengikuti prosesi ini, perasaan dan hati terasa nyaman, damai dan tentram. Tiada kata yang paling pantas untuk mengungkapkan semua perasaan ketika ikut terlibat dalam prosesi ini, prosesi omed-omedan bukan hanya sebatas pelengkap dalam kehidupan, tetapi lebih dari pada itu, omed-omedan sudah menjadi kisah hati, cerita sejarah dan memberi nuansa dalam kehidupan mereka sebagai anak-anak Hindu di Banjar Kaja.

2.6  Dampak Tradisi Omed-omedan bagi Masyarakat Setempat
2.6 dmækÓÍdisiehoemedoemdnãgimsêrktuæ)t)mæt/.
Selama pelaksanaan omed-omedan hingga kini, ada banyak pro kontra yang terjadi di dalam masyarakat. Bahkan Negara Peru sempat mengkritik pelaksanaan omed-omedan yang mereka anggap sarat dengan adegan porno aksi. Namun ketika Bapak I Gusti Ngurah Oka Putra balik bertanya mengenai siapa yang mau bertanggung jawab jika terjadi malapekaka di banjar tersebut melihat dari keanehan yang terjadi ketika dua ekor babi saling bertarung pada saat omed-omedan ditiadakan, orang-orang tersebut tidak ada yang mau bertanggung jawab. Sebenarnya omed-omedan bukanlah tradisi yang dimaksudkan untuk mengumbar nafsu, tetapi peluang untuk itu ada. Tinggal sekarang bagaimana cara kita untuk menyikapinya.
Diadakan tradisi omed-omedan ini setiap tahunnya sangat berdampak positif terhadap pemasukan desa dan banjar ini. Bahkan saking terkenalnya, desa ini sempat diundang ke stasiun Trans TV di Jakarta untuk membahas tradisi omed-omedan ini. Para turis asing bahkan secara khusus menyempatkan diri datang ke Bali sebelum hari raya Nyepi hanya untuk melihat pelaksanaan omed-omedan secara khusus, sehingga barang tentu menambah devisa di Pulau Bali sendiri. 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar