BABAD
PULASARI
SILSILAH IDE BETHARA DALEM
TARUKAN
A. Sanghyang Pasupati
berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
B. Bhatara Hyang Gnijaya
berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
C. Mpu Withadharma
berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
D. Mpu Bhajrasattwa
berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
E. Mpu Tanuhun
berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
F. Mpu Bharadah
berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
G. Mpu Bahula
berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
H. Mpu Tantular
berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
I.
Danghyang
Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan
J. Sri Soma Kepakisan
berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
K. Sri Kresna Kepakisan
berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu
Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana,
Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya
menurunkan Sapta Rsi yaitu : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu
Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka. Beliau bertujuh
selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara
bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra
Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya
tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan
di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di
pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari
berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari
ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di
Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula
Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri
Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan
keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande). Lama-kelamaan,
disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali, mengingat di Pura Dasar Bhuwana
distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
“Kepakisan”
asal katanya “Pakis” berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana
yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang
diberikan kepada Kesatria adalah : Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan
Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan
(Jawa). Gelar “Paku” di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura :
Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
Di
Bali gelar “Pasek” yang berasal dari perkataan “Pacek”(= paku) pertama kali
digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok
Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu
keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan
warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan.
Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem
Tarukan.
Kesimpulannya
bahwa gelar : Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai
fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu
penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem ( Kaisar = Maha Raja,
atau Raja)
BISAMA (PESAN) IDE
BHATARA DALEM TARUKAN
“wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-”cokor I Dewa” terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan “I Ratu, Gusti atau Jero”, karena aku akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan”.
Yang dimaksud dengan Bisama Ide Bhathara
Dalem Tarukan adalah pesan beliau yang bersifat sakral ditujukan kepada semua
keturunan beliau menyangkut tentang hak, kewajiban, larangan, dan keharusan
dalam penyelenggaraan kehidupan, hal mana bila dilanggar dipercaya akan
mendapat kutukan dan akan mendatangkan bencana.
Namun
kami mohon maaf sebelumnya, karena ini mengungkap masalah Bhisamanya saja maka
berikut berupa penggalan dari babad yang ada. Seperti Bhisama yang menyebutkan
bahwa : Ida Dalem bisa dipanggil atau disapa dengan I ratu, Gusti atau Jero,
karena sudah dibantu Krama untuk bersembunyi dari kejaran Pasukan Dalem
Samprangan.
Di
suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada
seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan
di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu
beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan
Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Kiyai
Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ.
Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan.
Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara.
Beberapa saat kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari
sungai, mencari bajunya namun tidak ditemukan.
Dalem
Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima
karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar,
gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit
kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan
beliau. Para petani sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui
kehadiran beliau di antara mereka.
Beliau,
Dalem Tarukan menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan
: “wahai kamu sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-”cokor I Dewa”
terhadapku. Kamu boleh menyapaku dengan “I Ratu, Gusti atau Jero”, karena aku
akan tetap menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas
dari pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan”. Walaupun tidak rela,
para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan nasib malang
yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan
perjalanan ke desa lainnya.
Dari riwayat beliau dicatat
Bisama-Bisama sebagai berikut :
Ø
Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa,
Jali.
Ø
Tidak mengurung, membunuh, atau memakan
daging burung Puyuh dan Perkutut.
Ø
Tidak memakan beras mentah.
Ø
Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di
arah Barat.
Ø
Tidak memelihara dan memakan daging
Manjangan.
Ø
Tidak menerima sebutan/ucapan:
"cai" dan "cokor I Dewa"
Ø
Boleh menerima sebutan/ucapan:
"Jero", "Ratu", "Gusti"
Ø
Upacara pelebon boleh menggunakan:
• Sebagaimana layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Selunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap
• Sebagaimana layaknya seorang Raja.
• Pemereman Padma Terawang
• Pemereman Bade Tumpang Pitu
• Benusa
• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning
• Ulon
• Jempana
• Rurub Kajang Pulasari
• Daun Pisang Kaikik
• Bale Gumi berundak tujuh
• Bale Selunglung
• Damar kurung
• Upacara ngaskara lengkap
Ø
Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan,
minuman, dan uang.
Setelah minggu lalu Ida Bhatara Dalem Tarukan
mengeluarkan Bisama yang harus ditaati sepanjang masa oleh seluruh Pratisentana
dari Pulasari yakni tetang “Tidak menerima sebutan/ucapan: “cai” dan “cokor I
Dewa”. Kali ini akan diceritakan bagaimana sebenarnya akhlikhwal bahwasannya
pantang bagi keturunan Pulasari untuk menggunakan busana sesuai dengan
tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil
menggunakan pemereman.
Dalam Babad yang kami rangkum menyebutkan, : Kembali
diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak
ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman
tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi
nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki
Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek
Sikawan.
Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai
berikut: “Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan
segenap keturunanmu kelak di kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia dan
diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan busana sesuai dengan
tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil
menggunakan pemereman berupa padma terawang, atau bade bertumpang tujuh,
menggunakan banusa dengan galar dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu
kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi
berundak tujuh, bale silunglung, damar kurung, serta upacara ngaskara
selengkapnya.
Selain itu janganlah menerima panggilan “cai”, tetapi
terimalah panggilan : Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu
karena kamu adalah keturunanku, keturunan Dalem” Pemberian bisama itu
disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka
menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada
berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama
tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong
ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari
Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352
M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja
Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun. Upacara pelebon Ide Bethara
Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku
Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih,
isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun
1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek,
Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek
Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade
tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah
Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh
gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang dihanyutkan di
sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara meligia di mana abu “sekah”
dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara
Dalem Tarukan. Berhubung sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka
sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara
Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada
henti-hentinya seluruh rakyat pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem
(Buleleng), perbatasan timur: Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan:
Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng bolong dan bahan-bahan
“lebeng-matah” sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan duka cita karena
ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung disantap oleh
para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena terlalu banyak
sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga menimbulkan bau tidak
sedap. Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia
makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak
tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai,
sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang
dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di
hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur; banyak yang
mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing atau babi.
Lalu Bagaimana sebenarnya pelaksanaan ngaben ini dan juga
menyebut cai pada keturunan Pulasari ? Menurut seorang warga dari
Pulasari yang kebetulan bernama Ari Pulasari menyebutkan bahwasannya hal ini di
jaman sekarang ini sudah lumrah. Namun dirinya juga sangat menghormati hal
tersebut. Namun juga namanya kehidupan di masyarakat sudah barang tentu menjadi
hal biasa apalagi itu di daerah pedesaan.
Sebelumnya disebutkan masalah pengabenan, kini Ida
Bhatara Dalem Tarukan menurunkan Bhisama yang mengharuskan atau melarang warga
keturunan untuk tidak memakan beras mentah. Bagaimana penggalan kisah ini?
Disebutkan, pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca
oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari
Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain Kerajaan seolah-olah sudah
dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau
berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 Isaka).
Dalem Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun
kelapa milik Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar oleh Dalem Wayan namun
tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Sementara itu
Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383 M
atau 1305 Isaka. Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut
menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara
Dalem Semara Kepakisan.
Kiyai Kebon Tubuh kembali
ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut
kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun
beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga
bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah
mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan
pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh
Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju Desa Sekahan, hanya semalam. Kemudian
meneruskan perjalanan ke Sekardadi, Kintamani, Panarajon di sini rombongan
beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia.
Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke Besa Balingkang. Merasa
aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju
Desa Sukawana.
Segenggam Beras Pembawa Maut
Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang
berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu
bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak
membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa
memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya.
Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan
akhirnya tidak tertolong.
Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih
beliau dan terucaplah kata-kata beliau: “Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang
kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan
kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan
semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan
beras mentah”
Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan
mengubur jenazah putrinya. Karena letak Desa Sukawana di sebelah timur bukit
Penulisan, maka agar prabu layon berada di “hulu” dikuburlah jenazah putrinya
dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bhisama beliau agar
seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah
barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini.
Sejak gugurnya Ide Bethara
Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam
peperangan. Untuk mencegah korban yang lebih banyak, maka para pemimpin rakyat
pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra
Ide Bethara Dalem Tampuwagan.
Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut
: Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh
Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem
Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu
berangkat ke arah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa
Belayu. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan
dari Gusti Agung Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak
mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi
rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah
menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus
berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya
kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di
Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa
gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak
kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum
setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel, keputusan
untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik. Dalem
Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:
“Kemenakanku semua,
janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan
Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem.
Sebab-sebab diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang
melibatkan kakakku Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian
dan keturunanmu melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara
seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya
tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah
cuntaka habis segeralah mabersih di mata air, selanjutnya ngayab
banten pebersihan; setelah itu barulah kembali kesucianmu. Jika kalian
berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus
kalian ingat, janganlah melupakan pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali,
serta janganlah menyia-nyiakan para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar
jagat Bali selalu trepti. Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di
luar pernikahan karena perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga
orang-orang Bali tidak lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku
seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar
mudah-mudahan menemui bencana dalam hidupnya”
Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang
keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih
bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke
Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang
memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali
ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti
Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin,
sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut:
“Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah kuberikan
beberapa waktu yang lalu sebagai berikut: Jika kalian memahami tentang kemoksan
seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian adalah seketurunan
denganku, yaitu keturunan Brahmana.
Oleh karena itu pula kalian
harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan
melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk
kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku.
Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya
yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika
kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa
kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan Brahmana,
maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda pisang gedang
Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun muda pisang
gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian bukan warih
Dalem.
……….. Jika kalian
melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi
seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide
Bethara Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ida
Bathara Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu
susah senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah
keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun
muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh
daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian
bukan warih Dalem.
Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda : “Apa yang aku
anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah wahyu dari Ide Bethara
Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah
lupa memuja dan memohon anugerah kepada Ide Bethara di Penataran Agung,
Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para
arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu. Taatlah melaksanakan
kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara
keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara,
paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah
mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu
kehilangan “soda”, yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali
mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan)
lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang
Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik beliau
Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut: Apabila diantara
kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada yang mampu Madwijati,
diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma trawang, pisang gedang
kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia),
dan 11 (utama).
Mesti Ngeleb Awu
Itu adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian
dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat
kalian dibakar, harus dilakukan upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai
upacara ngirim; jika dilalaikan, mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang
derajatnya paling rendah karena tidak membela kewangsaan serta tidak mengenal
kawitan.
Selanjutnya Dalem Ketut bersabda: “Kalian kemenakanku,
walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi
hak-hak sebagai berikut: seketurunan kalian tidak kena
kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman mati),
tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman cambuk),
tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan (larangan masuk
ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (iuran di Pura), tidak kena perintah.
Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa
diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan
diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para
kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak
melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Tirta Yeh Tunggang
Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan
tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma: “Jika kalian
dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon melalui Sangkulputih tirta
Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan
serta semua arwah leluhurmu berstana di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu
wajib berbakti kepada kawitan dan arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang
sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam
upacara yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang
mengajarkan ilmu, sastra, dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga
menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh
orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun,
mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.
Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan
kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan “Mantri sesana”, yaitu tata susila
sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede
Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda
beliau Ni Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai
Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung,
dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem diberi kedudukan sebagai Manca di Nagasari,
meliputi: Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu
diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan
Gunung, Pakel, dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana
Gelgel. I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara
Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas
ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik
selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada
Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka
1339 (1417 M). Pamancanggah itu diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya.
Sesampainya di tempat kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan
beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati
pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Penugrahan
Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan kepada warga Pulasari. Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya, seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan penugrahan adalah wewenang, kedudukan dalam jabatan Pemerintahan Kerajaan, ijin menggunakan atribut pada saat upacara Manusia yadnya, Resi yadnya, dan Pitra yadnya yang diberikan oleh Dalem atau Pejabat yang berkuasa pada saat penugrahan itu diberikan kepada warga Pulasari. Penugrahan juga melingkup tata kehidupan lainnya, seperti hubungan persaudaraan, hubungan sosial, keharusan mentaati ketentuan-ketentuan adat dan agama, dan lain-lain.
Penugrahan pertama yang tercatat dalam Babad
Pulasari adalah penugrahan yang dikeluarkan oleh Ide Bethara Dalem Sri Semara
Kepakisan. Dalam perkembangan sejarah, penugrahan itu
ada yang diubah, ditambah, dan dikurangi sesuai dengan politik
pemerintah/kerajaan atau penguasa setempat di pemukiman warga Pulasari.
Dari Babad Pulasari dicatat penugrahan Ide
Bethara Dalem Sri Semara Kepakisan sebagai berikut :
ü Warga
Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga
diminta untuk tidak “memada-mada” Dalem.
ü Namun
demikian dalam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja.
ü Cuntaka
kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam
ü Selalu
berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali
ü Selalu
bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci.
ü Jangan
melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina)
ü Bila
mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar
Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena
itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide
Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande
dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.
ü Semua
warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak
mengaku memisan atau memindon.
ü Pedoman
upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5,7,9,
atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba.
ü Jika
mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu
ke sungai atau laut.
ü Dibebaskan
dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana,
pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati
ketentuan ini.
ü Pada
upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari
Tolangkir melalui Ki Pemangku.
ü Jabatan
yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari
sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan
Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.
ü Kepada
para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk:
1. Melaksanakan
ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
2. Memahami
ketentuan-ketentuan catur warna
3. Memahami
dan melaksanakan asta beratha
4. Menghormati
dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
5. Meningkatkan
pengetahuan
6. Menghormati
dan menjunjung Pemerintah
7. Menghormati
dan menjunjung para Pendeta
8.
Tidak melakukan perkawinan yang dilarang
yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu /
sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak
Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar